SEPERTI MENTARI PAGI INDAHNYA KEBERSAMAAN
Masih
ingat dengan sabda Kristus yang berbunyi demikian “… barang siapa mengasihi Allah, ia harus mengasihi
saudaranya” (1 Yoh 4:21)?! Dalam kutipan itu
kita diajak untuk membangun persaudaraan sejati yang tidak mengenal sekat-sekat
sosial. Nah… perihal persaudaraan, sebelumnya kita telah belajar banyak tentang
arti “bersaudara” dalam artikel “137 RIBU BERSAUDARA”. Bahwa bersaudara “tidak terbatas pada iman yang sama atau agama yang sama, atau suku yang sama, asal daerah sama, dan pandangan
atau pemahaman yang sama”. Bersaudara memiliki cakupan yang lebih universal dan
menyeluruh dimana kita sebagai manusia ciptaan Allah diajak untuk membuka hati
dan saling menerima sesama kita sebagai saudara.
Persaudaraan
menjadi salah satu dasar yang penting dalam membangun hidup bersama. Setelah
kita menganggap yang lain sebagai saudara, kita barulah mulai menuju langkah
berikutnya dalam membangun hidup bersama agar semuanya menjadi “indah”.
Langkah
yang diperlukan adalah “sebuah usaha” atau tindakan nyata dari setiap pribadi
dalam membangun kebersamaan. Ingat, bahwa “keindahan dalam kebersamaan” tidak
akan datang secara cuma-cuma, akan tetapi diperlukan sebuah usaha atau tindakan
nyata. Dalam pandangan saya, tindakan nyata
yang dilakukan dibagi menjadi empat tahap.
Pertama adalah
komunikasi. Jika persaudaraan itu tidak dikomunikasikan maka bagaimana yang
lain tau bahwa dia adalah saudara kita, bahwa kita mengasihinya? Ini sama
halnya dengan cinta, dia memang akan tertangkap dengan tindakan yang kita lakukan,
tetapi cinta juga butuh dikomunikasikan dan diungkapkan dalam kata-kata agar
yang lain tidak salah menangkap maksudnya. Ungkapkan dalam kata-kata “kau
saudaraku, aku mengasihimu”.
Yang kedua adalah
interaksi. Ini merupakan lanjutan dari komunikasi. Agar komunikasi itu lebih lancar
dan terjalin lama atau langgeng. Maka
butuh interaksi, butuh pertemuan dari keduanya. Seringnya sebuah pertemuan atau
interaksi akan membangun “rasa persaudaraan” yang makin erat. Bahkan, akan
merasakan ada sesuatu yang hilang tatkala tidak berjumpa atau bertemu. Usahakanlah
pada level ini untuk membangun kedekatan rasa.
Ketiga adalah
diskusi. Nah, komunikasi dan interaksi yang telah dibangun perlu juga
ditambahkan dengan diskusi. Tentu dalam diskusi tujuan utamanya adalah “saling
mengerti”, “saling memahami”, dan “saling menerima”. Jika kita fokus pada
“perbedaan” saja maka akan menimbulkan sebuah “kesalahpahaman”. Mengapa? Karena
kita akan “menilai” yang lain berdasarkan “kacamata” kita, atau dengan
kata lain kita semacam memberi label atau penilaian yang lain atas dasar
“pemahaman diri kita saja”, dan bukan
memakai sudut pandang yang lain. Sebagai contoh, ketika kita berdiskusi
tentang “puasa” dalam agama A dan agama B. Tentunya akan ada perbedaan dari
aturan setiap agamanya. Jika kita fokus menilai “baik dan benar” cara berpuasa
berdasarkan agama A terhadap cara berpuasa dalam agama B, maka akan terjadi
salah pemahaman, begitu juga jika sebaliknya. Disini yang diperlukan, sekali
lagi, bukan penilaian, bukan judgment,
bukan labeling “benar satau salah”, akan tetapi diskusi ini mengarah pada
nilai-nilai dasar untuk saling mengerti, saling memahami, dan saling menerima.
Sehingga tidak akan muncul sebuah perdebatan panjang dan pemaksaan pemahaman.
Yang keempat,
kerjasama. Jika kita merasa sering jatuh pada “menghakimi” yang lain, maka
mulai sekarang mari kita belajar untuk kerjasama. Bagi saya “untuk apa
menghabiskan energi” dengan menghakimi yang lain dan menuntut yang lain untuk
“sepaham” dengan kita. Itu tidak akan terjadi tentunya! Lebih baik, mari
menyalurkan tenaga kita untuk kerjasama. Aura yang dikeluarkan tentunya akan
lebih positif dalam membangun kebersamaan. Coba bayangkan bagaimana indahnya
“kebersamaan” yang dilakukan oleh masyarakat yang memiliki latar belakang yang
berbeda-beda untuk mengusahakan suatu hal yang hendak dicapai bersama (artinya disini
menjadi tujuan bersama y). Bagi saya, kebersamaan itu muncul dalam sebuah
tindakan gotong royong. Tentu kita sering mendengar kata “gotong royong” dalam
hidup kita sehari-hari. Gotong royong inilah wujud akhir dari keindahan yang
akan kita lihat dalam kebersamaan sebagai manusia yang setara dan sederajat
dimata Allah apapun latar belakangnya. Dalam gotong royong, tidak mengenal
perbedaan, tidak mengenal pamrih, tidak mengenal latar belakang. Namun, akan
fokus pada tujuan bersama yang hendak dicapai sebagai sebuah goal.
Nah… itulah “keindahan dalam
kebersamaan” yang saya maknai. Bagi saya, ini seperti “mentari pagi” yang
selalu dirindukan dan dinantikan oleh semua orang sebagai awal dari periode
baru dalam hidupnya setiap hari.
Bagaimana dengan anda?
Tulis di kolom komentar ya.
Jika anda suka tulisan saya, bantu like
dan share ke orang-orang yang anda kenal y.
0 Response to "SEPERTI MENTARI PAGI INDAHNYA KEBERSAMAAN"
Post a Comment